Dalam dunia islam terdapat dua kelompok besar. Kelompok pertama menekankan dalam bidang dzahir seperti pendalaman ilmu fiqih dan sejenisnya sementara kelompok kedua menkankan dalam bidang batin yaitu tashawuf. Dalam sejarah perkembangan islam sebenarnya kedua kelompok ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi pemisahan antara praktik amaliyah dzahir dan amaliyah batin.
Pemisahan dua konsep keilmuan ini semakin jelas di akhir zaman. Secara bertahap, para pemegang konsep dzahiriyah islam memandang tidak perlu mendalami ilmu tashawuf. Sebaliknya pula para pemegang konsep batin yaitu tashawuf yang sudah tercampur dengan ideologi leberalisme dan kebatinan memandang tidak perlu akan memegang teguh serta menerapkan ilmu syariah. Dari sini kemudian terjadi kerancuan berfikir serta perdebatan yang panjang mengenai titik temu antara ilmu dzahir dan ilmu batin dalam islam.
Berangkat dari fenomena inilah As-Syaikh Lukman Haris Rahman As-Syadzili As-Syatthor bercita-cita untuk kembali menghidupkan metode tarbiyah Aslafus Sholeh untuk mewujudkan amaliyah yang mempertemukan konsep dzahir dan batin dalam islam. Salah satu imam besar yang pernah menerapkan 2 metode tarbiyah ini adalah Al-Imam Hujjatul Islam Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali. Dalam sejarah, Al-Imam Al-Ghazali mempunyai dua 2 ma’had yang beliau gunakan untuk membimbing murid-muridnya. Ma’had pertama adalah ma’had yang khusus untuk membangun serta memantapkan syariah dan aqidah sementara ma’had kedua secara khusus membahas ilmu yang bersifat batiniyah bagi setiap santri yang sudah mumpuni.
Cita-cita besar ini kemudian As-Syaikh Lukman Haris realisasikan dengan memulai pembangunan Pesantren darussalikin di sebuah lokasi bersejarah padepokan pesulukan kuno “Palanggaran”.
Tentang Palanggaran
Padepokan Sunan Palanggheren merupakan salah satu dari sekian banyak padepokan pesulukan kuno yang eksistensinya sudah dilupakan khususnya oleh masyarakat Kabupaten Sumenep. Padepokan Sunan Palanggheren berlokasikan di desa Langsar Laok Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep dan telah mencetak sufi-sufi besar pada masanya serta ikut mewarnai spiritualitas umat khususnya di kabupaten sumenep.
Kawasan perbukitan yang berada di Desa langsar laok ini di kenal oleh masyarakat setempat dengan nama "Palanggaran". Kata Palanggheren sendiri berasal dari bahasa madura yaitu "langgher" yang berarti "surau". Dalam sejarahnya, bukit ini merupakan tempat tarbiyah dan kholwat kaum salik penganut Toriqoh Syatoriyah Akmaliyah di bawah bimbingan seorang sufi besar dalam laku suluk yaitu Al-Arif Billah Kyai Ampenan yang bergelar "Kyai Tapa". Banyak diantara murid-murid beliau yang menjadi waliyullah dan penyebar islam di pulau madura. Diantara murid-murid Beliau yang masyhur antara lain: Kyai Moh.Shaleh bergelar "K.Tasek", Kyai Syika Syiha bergelar "K.Nangka Seppuh", Kyai Lanang, Kyai Lawu, dan Kyai Sawunggaling.
Disamping itu, lokasi pesulukan kuno ini juga menjadi saksi prosesi Talqin Dzikir para punggawa Keraton Sumenep di masa lampau yang notabene sebagian besar menjalani laku suluk melalui metode-metode yang diterapkan dalam Toriqoh Syatoriyah. Oleh sebab itu, dalam catatan sejarah spiritualitas raja-raja Sumenep ikut diwarnai oleh paham-paham yang bersumber dari ajaran Syatoriyah.
Diantara bukti sejarah yang dapat ditemukan dari padepokan Kyai Tapa di masa lampau adalah adanya petilasan berupa batu terhampar yang digunakan oleh kaum salik untuk bertapa. Sementara diatas bukit terdapat Maqbaroh (kuburan) kyai Tapa. Dibawah bukit terdapat sumber potre dan sumber air belerang yang digunakan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit.
Di Selatan Bukit terdapat Asta (kuburan) Kyai Tase', dan Kyai Lanang. Sekitar 1 Kilo kearah selatan terdapat situs sejarah "Watu Ginang".
Diiringi Niat untuk Tabarruk terhadap atsar Salafussholih di lokasi ini, maka Syaikhuna Haris As-Syadzili As-Syatthor menginstruksikan kepada para jama'ah Majelis Dzikir Wal Irsyad "BUMI SHOLAWAT" untuk menyusun serta mengimplementasikan rencana tahapan awal restorasi ulang pedepokan ini dalam bentuk pesantren pesulukan. Sesuai dengan harapan Syaikhuna Haris, Padepokan pesulukan ini nantinya menerapkan 8 macam Amaliyah Thoriqoh Mu'tabaroh, antara lain: Thoriqoh Qodiriyah wa Syathoriyah Al-Qusyasi Al-Mujaddidah, Qodiriyah Naqsyabandi, Naqsyabandi Khalidiyah, Qodiriyah Syadziliyah Darqowiyah Hasyimiyah, Ahmadiyah Idrisiyah, Anfusiyah, Alawiyah, dan Thoriqoh Dhalailul Khairot.
Pembuatan jalan menuju ke puncak bukit telah selesai dikerjakan berkat swadaya masyarakat serta jama'ah MDWI BUMI SHOLAWAT. Tahapan awal pengembangan padepokan di awali dengan pembangunan Masjid yang pelatakan batu pertamanya dilaksanakan pada hari Ahad / 04 Agustus 2019. Penggalangan dana terus dilakukan demi cepat terlaksananya harapan berdirinya sebuah pesantren yang secara intensif mendidik dan membentengi umat dari paham-paham serta pola hidup yang tidak sesuai dengan sunnah serta atsar salafu-sholihin.
Lokasi bersejarah Bukit sunan Palanggaran telah menampakkan cahayanya di masa lampau sebagai simbol kiasan penyebaran paham-paham Syari'ah wal Haqiqoh. Semoga sejarah kebesarannya kembali terulang dengan munculnya upaya-upaya untuk kembali menghidupkannya di bawah bimbingan Al-Arif Billah Syaikhuna Lukman Haris Rahman As-Syadzili As-Syatthor.